BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk paling sempurna di
antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala keinginan dan kebutuhannya
dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Namun di samping itu manusia juga
mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala
pertanyaan yang ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan menjadikan
manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan
irrasionalitas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan bukti adanya
keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak
diketahuinya.
Kepercayaan manusia akan kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang tergantung pada hubungan manusia
dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Ketakutan manusia jika hubungan baik
manusia dengan kekuatan gaib tersebut hilang, maka hilang pulalah kesejahteraan
dan kebahagiaan yang dicari.
Kemudian menurut sebagian para ahli rasa ingin
tahu dan rasa takut itu menjadi pendorong utama tumbuh suburnya rasa keagamaan
dalam diri manusia. la merasa berhak untuk mengetahui dari mana ia berasal,
untuk apa dia berada di dunia, apa yang mesti ia lakukan demi kebahagiannya di
dunia dan alam akhirat nanti, yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut adalah agama. Karenanya,
sangatlah logis jika agama selalu mewarnai sejarah manusia dari dahulukala
hingga kini, bahkan sampai akhir nanti. Lantas benarkah hanya rasa takut dan
ingin tahu tersebut yang menjadikan manusia membutuhkan agama dalam kehidupan
mereka?. Dalam makalah yang sederhana ini akan diulas bagaimana agama bisa
menjadi kebutuhan bagi manusia.
B.Rumusan Masalah
A. Definisi Agama
B.Agama dan Perkembangannya
C. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
D. Fungsi Agama Dalam Kehidupan
E. Rasa Ingin Tahu Manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Agama
Secara etimologis Agama berasal dari bahasa
Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”.
Dalam bentuk harfiah yang terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”, tetap di
tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi
kepada generasi yang lainnya.”[[1]]
Pada umumnya, kata “agama” diartikan
tidak kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi
kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”.
Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan
sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.[[2]]
Secara terminologi menurut sebagian orang, agama merupakan sebuah fenomena yang sulit
didefinisikan. WC Smith mengatakan, "Tidak berlebihan jika kita katakan
bahwa hingga saat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat
diterima". Meski demikian,
para cendekiawan besar dunia memiliki definisi, atau yang lebih tepatnya kita
sebut dengan kesimpulan mereka tentang fenomena agama. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut:[3]
a. Emile Durkheim mengartikan, agama
sebagai suatu kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang
sakral, kemudian kepercayaan dan pengalaman tersebut menyatu ke dalam suatu
komunitas moral.
b. Karl Mark berpendapat bahwa agama
adalah keluh kesah dari makhluk yang tertekan hati dari dunia yang tidak berhati, jiwa dari keadaan yang tidak
berjiwa, bahkan menurut pendapatnya pula bahwa agama dijadikan sebagai candu
bagi masyarakat.
c. Spencer mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan sesuatu
yang Maha mutlak.
d. Dewey menyebutkan agama sebagai
pencarian manusia akan cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada
tantangan yang dapat mengancam jiwanya, agama adalah pengenalan manusia
terhadap kekuatan gaib yang hebat.
e. Sebagian pemikir mengatakan bahwa apa
saja yang memiliki tiga ciri khas di bawah ini dapat disebut sebagai agama:
1) Keyakinan bahwa di balik alam materi
ini ada alam yang lain,
2) Penciptaan alam memiliki tujuan,
3) Alam memiliki konsep etika.
Pada semua definisi
tersebut di atas, ada satu hal yang menjadi kesepakatan semua, yaitu
kepercayaan akan adanya sesuatu yang agung di luar alam. Namun, lepas dari
semua definisi yang ada di atas maupun definisi lain yang dikemukakan oleh para
pemikir dunia lainnya, kita meyakini bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya
Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya untuk umat manusia demi
kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Dari sini, kita bisa menyatakan bahwa
agama memiliki tiga bagian yang tidak terpisah, yaitu akidah (kepercayaan
hati), syari'at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak (konsep untuk
meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya). Meskipun demikian,
tidak bisa kita pungkiri bahwa asas terpenting dari sebuah agama adalah
keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.
B.Agama dan Perkembangannya
Tahun 1500-500 SM, di Yunani Mesir, Mesopotamia Purba, lahirlah berbagai agama . Agama Brahma
menyuruh pengikutnya menyembah Dewa Tunggal, Agama Budha (400-750
M) menyembah Naga dan Raksasa, Agama Hindudi India (1500) SM menyembah banyak Dewa. Di Tiongkok (551-479
SM) lahir pula agama Khonghucudikembangkan
oleh Confusius Pada tahun 560 SM, berkembang pula agama Budha di Kapilawastu, oleh Budha Guatama.
Sekitar tahun 660-583 SM, lahir agama Majusi dibawa
oleh Zarathustra keturunan Iran suku Spitama. Selanjutnya di Jepang pada abat
ke-6, muncul agama Shinto. Pada
tahun 1570-1450 SM muncul agama Yahudiditanah Arab wilayah Palestina, Mesir. Kurang lebih 21 abat yang lalu lahirlah
agama Nasrani. Nama ini
berasal dari kota Nazareth, yaitu kota kecil yang terletak kaki sebuah
bukit. Agama ini dinamakan juga dinamakan agamaKristen (Chistten)
yaitu diambil dari nama Nabinya Jesus Kristus, gelar kehormatan keagamaan buat
Juses dari Nazareth pembawa agama ini Kristus adalah bahasa Yunani. Rasul
yang membawa agama Kristen ini adalah Isa Almasih atau
Jesus Kristus. Pada abad ke 6 M, lahirlah agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Agama
ini mengajarkan agar penganutnya menyembah Allah SWT. Agama Islam
beraliran monoteisme,. Kitab Pegangannya adalah Al-Quran dan Hadist Rasulullah.
Penelitian agama sacara ilmu jiwa (psikologi
modern) relatif masih muda. Para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian
mengenai psikolgi agama mulai popular sekitar abat ke-19. Ketika itu
psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian
agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara
bertingkah laku, berfikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.
Perkembangan di Indonesia
Adapun ditanah
air perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki
latar belakang profesi ilmuwan, agamawan, dan bidang kedokteran. di antara
karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah buku Agama
dan Kesehatan Badan/Jiwa (1965), tulisan Prof. dr. H. Aulia. Kemudian
Tahun 1975, K.H. S.S.
Djam’an menulis buku Islam dan Psikosomatik Dr. Nici Syukur
Lister, menulis buku Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar
Psikologi Agama.
Adapun pengenalan psikologi agama di lingkungan
perguruan tinggi dilakukan oleh Prof. Dr. H. A Mukti Ali dan Prof. Dr. Hj.
Zakiah Darajat. Buku-buku yang khusus mengenai psikologi agama banyak
dihasilkan oleh Prof. Dr. Zakiah Darajat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama
(1970), Peranan Agama
dalam Kesehatan Mental (1970), dan Kesehatan Mental. Prof.
Dr. Hasan Langgulung juga menulis buku Teori-teori Kesehatan Mental yang
juga ikut memperkaya khazanah bagi perkembangan psikologi agama diIndonesia.[1]
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri
sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Perkembangan
psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitnya
berbagai karya tulis, baik buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian
tentang bagaimana agama dalam kehidupan
manusia
C.Manusia Terhadap Agama
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini
di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup,
musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan kepada
sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan
bahwa manusia perlu [3]beragama
dan membutuhkan Sang Khaliknya[[4]].
Ada yang berpendapat bahwa
benih agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkanpemberian sesajen kepada
yang diyakini yang memiliki kekuatan menakutkan. Seperti yang ditulis oleh Yatimin
bahwa pada masa primitif, kekuatan itu menimbulkan kepercayaan animisme dan
dinamisme. Ia memerinci bentuk penghormatan itu berupa:
1. Sesajian pada pohon-pohon besar, batu,
gunung, sungai-sungai, laut, dan benda alam lainnya.
2. Pantangan (hal yang tabu), yaitu
perbuatan-perbuatan ucapan-ucapan yang dianggap dapat mengundang murka
(kemarahan) kepada kekuatan itu.
3. Menjaga dan menghormati kemurkaan yang
ditimbulkan akibat ulah manusia, misalnya upacara persembahan, ruatan, dan
mengorbankan sesuatu yang dianggap berharga.
Rasa takut memang salah
satu pendorong utama tumbuh suburnya rasa keberagaman. Tetapi itu merupakan
benih- benih yang ditolak oleh sebagian pakar lain. Seperti yang dikatakan oleh
Qurasy Syihab bahwa ada hal lain yang membuat manusia merasa harus beragama.
Freud ahli jiwa berpendapat bahwa benih agama dari kompleks oedipus. Mula-mula
seorang anak merasakan dorongan seksual terhadap ibunya kemudian membunuh
ayahnya sendiri. Namun pembunuhan ini menghasilkan penyesalan diri dalam jiwa
sang anak sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang ayah. Di sinilah
bermula rasa agama dalam jiwa manusia[[5]]. Jadi agama muncul dari rasa penyesalan
seseorang. Namun bukan berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan
bahwa manusia membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap agama dapat
disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan perlunya
manusia terhadap agama sebagai kebutuhan. Ada empat faktor yang menyebabkan
manusia memerlukan agama. Yaitu:[[6]]
a) Faktor Kondisi Manusia
Kondisi manusia terdiri
dari beberapa unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Untuk menumbuhkan
dan mengembangkan kedua unsur tersebut harus mendapat perhatian khusus yang
seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik jasmaniah.
Kebutuhan tersebut adalah makan-minum, bekerja, istirahat yang seimbang,
berolahraga, dan segala aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani
membutuhkan pemenuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah. Kebutuhan
tersebut adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih sayang, dan
segala aktivitas rohani yang seimbang.
b) Faktor Status Manusia
Status manusia adalah
sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Jika dibanding dengan
makhluk lain, Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kesempurnaan,
yaitu kesempurnaan akal dan pikiran, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya.
Dalam segi rohaniah manusia memiliki aspek rohaniah yang kompleks. Manusia
adalah satu-satunya yang mempunyai akal dan manusia pulalah yang mempunyai kata
hati. Sehingga dengan kelengkapan itu Allah menempatkan mereka pada permukaan
yang paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia
mengakui adanya Allah. Dengan hati nuraninya manusia menyadari bahwa dirinya
tidak terlepas dari pengawasan dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia
belajar mengenal Tuhan dan agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan
sesamanya, dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
c) Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Dalam teori psikoanalisis Sigmun
Freud membagi struktur kepribadian manusia dengan tiga bagian. Yaitu:
1) Aspek Das es yaitu aspek biologis.
Aspek ini merupakan sistem yang orisinal dalam kepribadian manusia yang
berkembang secara alami dan menjadi bagian yang subjektif yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan dunia objektif.
2) Aspek das ich, yaitu aspek psikis yang
timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
3) Aspek das uber ich, aspek sosiologis
yang yang mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat.
Selain faktor yang
dimiliki manusia dalam memerlukan agama ada juga alasan mengapa manusia perlu
beragama. Dalam buku yang ditulis Yatimin juga Abudin Nata bahwa ada tiga
alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Yaitu:
a. Fitrah Manusia
Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan dijelaskan
dalam ajaran islam bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Sebelumnya
manusia belum mengenal kenyataan ini. Dan di masa akhir-akhir ini muncul
beberapa orang yang memerlukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang
berada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia
terhadap agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia
agar beragama, maka seruan itu memang amat sejalan dengan fitrah manusia itu.[[7]]
Al-Quran telah menjelaskan agama sebagai fitrah manusia,
dan Allah telah menetapkan perintah, ”(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu ”Dan sejak dahulu gagasan ketakwaan
tidak dapat disingkirkan dari hati manusia. Kemudian dari sudut pandang
psikologi hubungan antara manusia dan agama membuktikan perasaan religius
adalah salah satu naluri manusia yang mendasar. Seorang filsuf pun mengatakan
bahwa perasaan religius adalah salah satu unsur utama dari alam jiwa manusia.
D. Fungsi agama dalam kehidupan
Agama mempunyai
peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua
tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga
peraturan yang dibuatNya btul-betul adil. Secara terperinci agama memiliki
peranan yang bisa dilihat dari: aspek keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis),
kemasyarakatan (sosiologis), hakkekat kemanusiaan (human nature),
asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).[[8]]
·
Dari Aspek Keagamaan (Religius) : Agama menyadarkan
manusia, tentang siapa penciptanya.
·
Secara Asal usul (Antropologis) : Agama
memberitahukan kepada manusia tentang siapa, darimana, dan mau kemana manusia.
·
Dari segi Kemasyatakatan (Sosiologis) :
Sarana-sarana keagamaan sebagai lambang-lambang masyarakat yang kesakralannya
bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh seluruh
anggota masyarakat. Dan fungsinya untuk mempertahankan dan memperkuat rasa
solidaritas dan kewajiban sosial.Secara Kejiwaan (Psikologis) : Agama bisa menenteramkan,
menenangkan, dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang.
·
Dan secara Moral (Ethics), agama menunjukkan
tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berperilaku
baik (akhlaq mahmudah)
Namun apabila
agama dipahami sebatas apa yang tertulis dalam teks kitab suci, maka yang
muncul adalah pandangan keagamaan yang literalis, yang menolak sikap kritis
terhadap teks dan interpretasinya serta menegasikan perkembangan historis dan
sosiologis. Sebaliknya, jika bahasa agama dipahami bukan sekedar sebagai explanative
and descriptive language, tetapi juga syarat dengan performatif dan expresif
language, maka agama akan disikapi secara dinamis dan kontekstual sesuai
dengan persoalan dan kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia yang terus
berkembang. Setiap agama memiliki watak transformatif, berusaha menanamkan
nilai baru dan mengganti nilai-nilai agama lama yang bertentangan dengan ajaran
agama. [[9]]
Dari aspek
religius, agama menyadarkan manusia, siapa penciptanya. Faktor keimananjuga
mempengaruhi karena iman adalah dasar agama.[[10]] Secara antropologis, agama
memberitahukan kepada manusia tentang siapa, darimana, dan mau kemana manusia.
Dari segi sosiologis, agama berusaha mengubah berbagai bentuk kegelapan,
kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Agama juga menghubungkan masalah
ritual ibadah dengan masalah sosial. Secara psikologis, agama bisa
menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Dan
secara moral, agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan
mendorong manusia berpeilaku baik (akhlaq mahmudah).[[11]]
Fungsi agama juga sebagai pencapai tujuan luhur manusia di dunia ini, yaitu
cita-cita manusia untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin. Dalam
Al-Quran surat Thoha ayat 117-119 disebutkan:
”Maka kami berkata:
“Hai Adam, Sesungguhnya Ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, Maka
sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang
menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di
dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa
dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.
Pada ranah yang lebih umum
fungsi agama dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai penguat solidaritas
masyarakat. Seperti yang diungkapkan Emile Durkheim sebagai sosiolog besar,
bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan
bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara
keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan
memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Dari segi pragmatisme,
seseorang menganut suatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan
orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi
sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang
diuraikan di bawah ini:
a. Memberi pandangan
dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatakan memberi
pandangan dunia kepada manusia karena ia senantiasa memberi penerangan kepada
dunia (secara keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia.
Penerangan dalam masalah ini sebenarnya sulit dicapai melalui indra manusia,
melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam
menerangkan kepada umatnya bahwa dunia adalah ciptaan Allah dan setiap manusia
harus menaati Allah.
b. Menjawab berbagai
pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sebagian pertanyaan yang
senantiasa ditanya oleh manusia merupakan pertanyaan yang tidak terjawab oleh
akal manusia sendiri. Contohnya pertanyaan kehidupan setelah mati, tujuan
hidup, soal nasib dan sebagainya. Bagi kebanyakan manusia,
pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik dan perlu untuk menjawabnya. Maka,
agama itulah fungsinya untuk menjawab soalan-soalan ini.
c. Memainkan fungsi
peranan sosial.
Agama merupakan satu
faktor dalam pembentukan kelompok manusia. Ini adalah karena sistem agama
menimbulkan keseragaman bukan saja kepercayaan yang sama, melainkan tingkah
laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
d. Memberi rasa
kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Kebanyakan agama di dunia
ini menyarankan kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah
menggariskan kode etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini
dikatakan agama memainkan fungsi peranan sosial.
E. Rasa Ingin Tahu Manusia
Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu
ketika itu yang diketahuinya hanya ”saya tidak tahu”. Tapi kemudian dengan
pancaindra, akal, dan jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah,
dengan coba-coba (trial and error), pengamatan, pemikiran yang logis dan
pengalamannya ia menemukan pengetahuan. Namun demikian keterbatasan panca indra
dan akal menjadikan sebagian banyak tanda tanya yang muncul dalam benaknya
tidak dapat terjawab. Hal ini dapat mengganggu perasaan dan jiwanya dan semakin
mendesak pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin gelisah ia apabila tak
terjawab. Hal inilah yang disebut dengan rasa ingin tahu manusia. Manusia
membutuhkan informasi yang akan menjadi syarat kebahagiaan dirinya.[[12]]
IV. KESIMPULAN
Dari ulasan sederhana di
atas dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai
pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini
adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk
mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang
di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Quran,
menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan
bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan
agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang
sederhana ini kami susun semoga dapat bermanfaat bagi penyusun pada khususnya
dan pembaca pada umumnya. Akhirnya kami merasa kerendahan hati sebagai manusia
yang mempunyai banyak sekali kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran
–bahkan yang tidak membangun sekalipun- kami tunggu demi kesempurnaan makalah
selanjutnya. Semoga niat baik kita diridloi oleh Allah SWT. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Abd. A’la. Al-quran
dan Hermeneutika, dalam jurnal Tashwirul Afkar,edisi 08, Jakarta Selatan:
LAKPESDAM
Jalaludin. Dr., Psikologi Agama, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada
Nata, Abuddin. 1998.Metodologi
Studi Islam. Jakarta. CV.
Rajawali Press.
Syihab, Quraisy. 2007. Membumikan Alquran Fungsi dan peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.Bandung. PT Mizan Pustaka.
Syukur,M.Amin, Prof.Dr.MA.
2003 Pengantar Studi Islam,Semarang:
CV. Bima Sakti
Yatimin, Drs. M. M.A.
2006. Studi Islam Kontemporer.
Jakarta: AMZAH.
Yusuf, ali
anwar. Studi Agama Islam,
Bandung: Pustaka Setia
Organization, World Shia Muslim. Trjmah Muslim Arobi.
1989.Rasionalitas Islam. Jakarta. Yapi.
Kaelany Hd, Drs. M.A.
2000. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
[5] Quraisy syihab, Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), Hlm. 210
[9] Abd.
A’la. Al-quran dan Hermeneutika, dalam jurnal Tashwirul Afkar,edisi 08,(Jakarta
Selatan: LAKPESDAM).Hlm.128