BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang
dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu
ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur
ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga
sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut:
pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan
keempat al-Qiyas.
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang
mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut.
Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan
penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya.
Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi,
Syar’u Man Qoblana, dan Sad al-Zari’ah. Sehingga, dalam makalah ini kami akan
membahas tentang hal-hal tersebut.
B.
Tujuan penulisan
1.
Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi. Memperoleh
pengetahuan tentang pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul)
al-Shahabi dan macam-macamnya.
2.
Mengetahui pengertian dari Sar’u Man Qablana, pendapat para yang
terkait dengannya serta kehujjaannya.
3.
Mengetahui pengertian dari Sadd Al-zari’ah, kehujjaan, macam-macam
dan aplikasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MAZHAB SHAHABI
1.
Pengertian Mazhab Shahabi
Yang dimaksud
dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang suatu kasus
diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Sedangkan
menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab
shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa
sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak
terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan
mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat
secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil
kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara
keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan
mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.
Namun ada juga
pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut. Beliau
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat
secara perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu
keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad.
Namun perbedaan pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai
permasalahan, karena dari beberapa defenisi diatas tentang mazhab shahabi itu
adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja pengunaan bahasa yang
sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada hanyalah sebuah
tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk diapahami.
Baik juga
disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul fiqh dan
jumhur ulam hadist tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah. Menurut
jumhur ulama, yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang mukmin yang
bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan mukmin dan bergaul dengan beliau
dalam waktu yang lama. Sedangkan menurut jumhur ulama hadist mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang mukmin yang bertemu dengan
Rasulullah dan wafat dalam keadaan mukmin, baik pergaulan mereka tersebut dalam
waktu yang lama maupun sebentar.
Sejarah
membuktikan,qaul ash shahabi merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa-
peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang tidak
terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi harus
dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat
ahli dalam hukum islam. Bakat dan keahlianya pun berbeda-beda. Sebagian sahabat
mendalami dan menekuni masalah-masalah hukum, sehingga tidaklah mengherankan,
jika sebagian sahabat populer dengan fatwa-fatwa hukumnya.
Muhammad ;Ajjaj
al-Khatib ahli hadist berkebangsaan syiria, dalam karyanya ushul al-hadist
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang
hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimbah ilmu
dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘abdullah bin Mas’ud, Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka
ini adalah sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.
Menurut Ulama
hadits yang disebut sahabat yaitu orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan
wafat dalam keadaan islam. Menurut pandangan ahli ushul fiqh yang disebut
sahabat ialah orang yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya serta
menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada
ulama yang menambah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan
hukum syara’ yaitu pada dirirnya terdapat bakat atau bawaan
(malakah)dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan
Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).
2.
Macam-Macam Mazhab (Qaul) Al-Shahabi
Para ulama membagi qaul
al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
a.
Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk
objek ijtihad.
Dalam hal ini
para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah.
Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga
perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah,
meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh
Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal
yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa
jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling
sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah
sepuluh hari.
Namun
contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan
objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita
berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
b.
Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal
ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam
kategori ijma’.
c.
Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya
dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal
inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi
mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa
dijadikan hujjah.
d.
Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya
atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabiyang seperti inilah yang
menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya
sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan
beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
1.
Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan.
Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan
sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”.
3.
Kehujjahan Mazhab Shahabi
Maksud
kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat
islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu
menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu; Pembahasan dari kehujjahannya
terhadap sesame sahabt lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya
atau oaring yang selain sahabat. Pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi
dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat
tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Beberapa diantaranya yaitu;
Pendapat
sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’I
berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi
dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam
bentuk ini maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
Pendapat
sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tenetang
kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para
ulama sepakat bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah
untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang imam,hakim atau mufti. Kesepakatan
ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu; Ibn Subki dan
al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen.
Para imam mazhab
yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap
masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam
masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi
dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang
diterima tanpa reserve) yang bersumber dari rasulullah.
Para ulam juga
sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuna
hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik
kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang
dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda
dengan pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti) yang dalam istialh
lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya :bagian warisan nenek
perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam juga sepakat,
bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi
hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan
sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’
tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat
lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi.
Pendapat
perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau
tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama diantaranya yaitu;
Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanfiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I
yang lama (qaul al-qadim) dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat:
qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi
didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil
sebagai berikut : Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3): 110 yang berbunyi
:
“Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini
ditujukan kepada sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka perintahkan
adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
Sabda
Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang
berbunyi : “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian
generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi
alasasn logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu
karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal
ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh
syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara’. Dengan bergaul dengan
Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau,dalam
menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran.
Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-qiyas, maka sangat
mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana
diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-adalah), yang
sangat sulit diterima, menurut kebiasaan, jika melahirkan pendapat syara’ tanpa
alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.
Dalam beberapa literature ushul fiqh, dikemukakan
pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu
adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberpa pendapat
mereka adalah sebagai berikut :
1.
Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lahir dari Abu Bakar
dan ‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan
“ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”. Hadits ini
dinyatakan hasan al-Tarmidzi.
2.
Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan
tidak dari sahabat lainya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh
al-Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa
al-Rasyidin yang datang sesudahku”.
3.
Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah.
Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok
shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya
disbandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia
memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi
nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum
‘Ali sudah tidak ada lagi.
4.
Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah
menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid
bin Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris); Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum
diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam masalah peradilan. Dikalangan ulama
yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara mutlak muncul perbedaan
pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas. Ulama yang
berpendapat bahwa sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga
kalau terjadi pembenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah
pendapat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat
yang berada dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana
penyelesaiannya dua dalil yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil
yang terkuat).
5.
Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah,
namun kedudukanya dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara keduanya
maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua
diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umunya
dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat yaitu:
Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umunya dalil, sebagaimana berlaku
terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujjah.
Ulama lainya
berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat
biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum. Dikalangan ulama
yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah
orang (generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat. Dalam hal ini
ada dua pendapat yaitu: (1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional,
bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah sahabat, tentu
akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid sahabat. (2)
Qaul qadim (pendapat lama)dari al-Syafi’I mengatkan boleh bertaqlid
kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum
dibukukan.
B.
SYAR’U MAN QABLANA
1.
Pengertian
Yang dinamakan
dengan Syar’u Man Qablana, yaitu ajaran – ajaran atau syari’at – Syari’at Nabi
- nabi terdahulu yang berhubungan dengn hukum, seperti Syari’atnya
Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Dengan Kata lain, seluruh ajaran – ajaran
Nabi – Nabi terdahulu yang berkaitan dengan suatu kasus hukum itu dapat
dijadikan acuan dalam instimbat hukum ( penggalian hukum ) jika termaktub dalam
Alqur’an serta mempunyai ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi
Muhammad S.A.W.
Dalil Naqli
yang digunakan oleh segolongan Ulama’ atas kebolehan menggunakan Syar’u Man
Qablana dijadikan sebagai hujjah, khususnya pengikut
Hanafiyah,Malikiyah,Syafi’iyah yaitu :
a.
“Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).
Ayat di atas
menegaskan bahwa syariat yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW juga
telah disyari’atkan kepada Nabi sebelum beliau. Ayat ini juga menunjukkan bahwa
pada dasarnya seluruh Syari’at yang diturunkan Allah SWT merupakan satu
kesatuan.
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
2.
Pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qablana
Seperti yang
sudah dicantumkan diatas bahwa dalil dibolehkannya syar’u Man Qablana tercantum
dalam Kitab Suci Al – Qur’an. Lantas pertanyaanya , Syari’at –
syari’at yang lampau manakah yang boleh kita ambil untuk mengatasi
situasi zaman sekarang ini ? Perlu ditegaskan bahwa syar’u man Qablana yang
tidak tercantum dalam Al – qur’an dan As – Sunah, itu tidak berlaku lagi Bagi
Nabi S.A.W dan umatnya. Sebab, Risalah yang dibawa Nabi Muhammad S.A.W bersifat
menggantikan Syari’at terdahulu, secara otomatis tidak berlaku lagi bagi umat
sekarang. Misalnya, diharamkanya memakan semua daging binatang yang berjumlah
genap, aksi bunuh diri sebagai cara taubat serta memotong bagian kain yang
terkena najis.
Selanjutnya,
Segolongan Ulama; sepakat bahwa Syar’u man Qablana yang tercantum dalam Al –
qur’an maupun Sunah dan secara tegas dinyatakan berlaku oleh
Rosulullah S.A.W, maka keberlakuannya bukan hanya sekedar
kedudukannya sebagai Syar’u Man Qablana, melainkan karena disyari’atkan oleh Al
– qur’an atau sunah Nabi Muhammad S.A.W. Seperti Disyari’atkanya Puasa kepada
umat – umat terdahulu juga berlaku bagi umat Nabi. Hal ini tercantum
dalam Al – Qur’an surat Al Baqoroh ayat 183.
Adapun yang
menjadi objek perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ ialah, hukun dari masalah –
masalah yag tidak secara tegas diberlakukan pada syari’at Nabi Muhammad S.A.W,
tetapi tidak ada nash yang menasakhkanya atau mengapusnya. Dalam hal ini ada
dua kelompok yang saling bertolak belakang atas diberlakukanya Syar’u Man
Qablana dengan menggunakan ijtihad mereka masing – masing.
3.
Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Para ulama’
berbeda pendapat mengenai apakah syari’at sebelum kita itu dapat menjadi dalil
dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat – pendapat mereka
biasa dikelompokkan sebagi berikut :
Sebagaian
Sahabat Abu hanifah, Sebagian Ulama’ Malikiyah, Sebagian sahabat Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum – hukum yang disebutkan dalam
Al qur’an atau sunah nabi meskipun objeknya tidak untuk Umat Nabi Muhammad,
selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat
Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah : “ Syari’at untuk umat sebelum kita
juga berlaku untuk syari’at kita.” Mereka juga mendasarkan pada Nash
Alqur’an dalam SuratAs-Syura (13).
Jumhur Ulama’
haanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta Ulama’
kalam As’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat Bahwa ajaran – ajaran terdahulu
tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW selama tidak dijelaskan
pemeberlakuannya untuk umat Nabi Mjhammmad SAW. Alasanya adalah bahwa syari’at
terdahulu itu secara khusus berlaku bagi umat ketika itu dan tidak berlaku
secara umum.
C.
SADD AL-DZARÎ’AH
1.
Pengertian Sadd Az-Zari’ah
Kata
sadd menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata az-zari’ah berarti
“wahsilah” atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara
bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan. Imam al-satibi mendefenisikan
dzari’ah dengan “melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung suatu kemaslahatan
untuk menuju kesuatu kemasadatan. Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan tetapi
tujuan yang akan dia capai berahir pada suatu kemafsadatan.
Menurut istilah
ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan Sadd Az-Zari’ah
berarti:
انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد
Artinya: menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau
kejahatan.
2.
Kehujjahan Sadd Az-Zari’ah
Meskipun hampir
semua dan penulis ushul fiqih menyinggung tentang sadd az-zari’ah namun amat
sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri, ada yang
menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati
oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam
menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya mengandung arti bahwa
meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan,
namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan
yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum
washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan
pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat alquran
mengisaratkan kearah itu.
Umpamanya:
a)
Qs. Al-an’am 6: 108
“Dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan.”
Sebenarnya
mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja bahkan jika
perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan
mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
b)
QS. Al-Baqarah:104
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ
انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad):
"Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
(QS. Al-Baqarah:104)
Orang-orang Yahudi
menggunakan lafal رَاعِنَا untuk mencela atau mengumpat
Rasulullah Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan
lafal ini agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela
RasulullahSaw.. Larangan menggunakan sarana tersebut adalah sadd
al-dzarî`ah
c)
Qs. Annur 24: 31
“Dan janganlah
mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.”
Sebenarnya
menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan namun karena menyebabkan
perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan
rangsangan bagi yang mendengar maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
Dari beberapa
contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan
sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya.
3.
Macam-macam Tingkatan Sadd Az-Zari’ah
Ada 2 macam pembagian dzariah,yaitu:
a.
Dzariah dilihat dari segi kualitas kemashalatannya.
Imam
asy-syatibi menyatakan bahwa dilihat dari segi kualitasnya dibagi kepada 4
macam:
1)
Perbuatan yang dilakukan itu membawa itu membawa kepada
kemaslahatan secara pasti.
2)
Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa
kemaslahatan.
3)
Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan
membawa kemaslahatan.
4)
Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan tetapi kemungkinan juga perbuatan itu membawa kemaslahatan.
b.
Dzariah dilihat dari segi kemaslahatan yang
ditimbulkannya.
Menurut
Ibnu Qayyimaljauziyah, dzariah dari segi ini terbagi kepada:
1)
Perbuatan itu membawa kepada ke suatu kemasadatan seperti meminum
minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan mabuk itu kesuatu kemaslahatan.
2)
Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di bolehkan atau
dianjurkan tetapi jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram baik dengan
tujuan yang disengaja atau tidak.
4.
Aplikasi Sadd Az-Zari’ah di Zaman Kotemporer.
Banyak sekali kasus
sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus Saddul Adz
Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer sehingga masyarakat
kurang memperhatikannya.
Contoh Dalam
Kehidupan Sehari-Hari
1.
Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya.
Maka hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama’.
Contoh:
menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2.
Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau
pada kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram. Contoh: menjual senjata
dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.
3.
Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak
sampai pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
keharamannya. Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4.
Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam
hal ini hukumnya diperbolehkan. Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: Dalil-dalil
yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan
suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man
Qoblana, dan Sad al-Zari’ah.
Sad Secara
bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan
kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup
jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti
menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi
sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya
mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
B.
SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis
merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya
kritikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan
kepada mahasiswa selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
5 komentar:
artikel yang menarik.....jangan lupa ya singgah di blog sya ya..duniapendidikan33.blogspotcom
terimakasih atas kunjungannya.
siap singgah mbak
thanks... your article very help me,,
let's come in my blog ,,,hehe
ini sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas kuliah. pas banget dengan mata kuliah saya...matur nuhun. semoga bermanfaat
Alhamdulillah sangat membantu syaa..
Posting Komentar