skip to main | skip to sidebar

GRABALONG

dalam bahasa samawa, yaitu Gra = cakap, tampan/cantik & Balong = bagus/baik, indah. jadi Grabalong artinya keindahan yang sempurna atau sejati.

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Minggu, 22 Februari 2015

MADZHAB SHAHABI, SYAR’U MAN QABLANA, & SADD AL-ZARI’AH

Diposting oleh Unknown di 09.00 Label: Makalah, Ushul Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.

Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man Qoblana, dan Sad al-Zari’ah. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang hal-hal tersebut.

B.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi. Memperoleh pengetahuan tentang pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi dan macam-macamnya.
2.      Mengetahui pengertian dari Sar’u Man Qablana, pendapat para yang terkait dengannya serta kehujjaannya.
3.      Mengetahui pengertian dari Sadd Al-zari’ah, kehujjaan, macam-macam dan aplikasinya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    MAZHAB SHAHABI
1.      Pengertian Mazhab Shahabi
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.

Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi diatas tentang mazhab shahabi itu adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja pengunaan bahasa yang sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada hanyalah sebuah tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk diapahami.

Baik juga disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul fiqh dan jumhur ulam hadist tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan mukmin dan bergaul dengan beliau dalam waktu yang lama. Sedangkan menurut jumhur ulama hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah dan wafat dalam keadaan mukmin, baik pergaulan mereka tersebut dalam waktu yang lama maupun sebentar.

Sejarah membuktikan,qaul ash shahabi merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa- peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi harus dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli dalam hukum islam. Bakat dan keahlianya pun berbeda-beda. Sebagian sahabat mendalami dan menekuni masalah-masalah hukum, sehingga tidaklah mengherankan, jika sebagian sahabat populer dengan fatwa-fatwa hukumnya.

Muhammad ;Ajjaj al-Khatib ahli hadist berkebangsaan syiria, dalam karyanya ushul al-hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimbah ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.

Menurut Ulama hadits yang disebut sahabat yaitu orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan islam. Menurut pandangan ahli ushul fiqh yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirirnya terdapat bakat  atau bawaan (malakah)dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).

2.      Macam-Macam Mazhab (Qaul) Al-Shahabi
      Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
a.       Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.

Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.

Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.

b.      Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.

c.       Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.

d.      Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabiyang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
1.      Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”.

2.      Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqahamengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.

3.      Kehujjahan Mazhab Shahabi
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu; Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesame sahabt lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau oaring yang selain sahabat. Pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Beberapa diantaranya yaitu;

Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’I berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).

Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tenetang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang imam,hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu; Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen.

Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari rasulullah.

Para ulam juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuna hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang  (ijma’ as-sukuti) yang dalam istialh lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya :bagian warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi.

Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama diantaranya yaitu; Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanfiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3): 110 yang berbunyi :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Ayat ini ditujukan kepada sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang berbunyi : “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.

Dari segi alasasn logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau,dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-adalah), yang sangat sulit diterima, menurut kebiasaan, jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.

Dalam beberapa literature  ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberpa pendapat mereka adalah sebagai berikut :

1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan “ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”. Hadits ini dinyatakan hasan al-Tarmidzi.

2.      Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku”.

3.      Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya disbandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah  pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.

4.      Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid bin Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris); Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam masalah peradilan. Dikalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara mutlak muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas. Ulama yang berpendapat bahwa sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga kalau terjadi pembenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat yang berada dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaiannya dua dalil yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat).   

5.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukanya dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara keduanya maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umunya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat yaitu: Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umunya dalil, sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujjah.

Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum. Dikalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu: (1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional, bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah sahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid sahabat.   (2) Qaul qadim (pendapat lama)dari al-Syafi’I mengatkan boleh  bertaqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum dibukukan.

B.     SYAR’U MAN QABLANA
1.      Pengertian
Yang dinamakan dengan Syar’u Man Qablana, yaitu ajaran – ajaran atau syari’at – Syari’at Nabi - nabi terdahulu yang berhubungan dengn hukum, seperti  Syari’atnya Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Dengan Kata lain, seluruh ajaran – ajaran Nabi – Nabi terdahulu yang berkaitan dengan suatu kasus hukum itu dapat dijadikan acuan dalam instimbat hukum ( penggalian hukum ) jika termaktub dalam Alqur’an serta mempunyai ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad S.A.W.

Dalil Naqli yang digunakan oleh segolongan Ulama’ atas kebolehan menggunakan Syar’u Man Qablana dijadikan sebagai hujjah, khususnya pengikut Hanafiyah,Malikiyah,Syafi’iyah yaitu :
a.       “Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Ayat di atas menegaskan bahwa syariat yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW juga telah disyari’atkan kepada Nabi sebelum beliau. Ayat ini juga menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh Syari’at yang diturunkan Allah SWT merupakan satu kesatuan.

 “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

2.      Pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qablana

Seperti yang sudah dicantumkan diatas bahwa dalil dibolehkannya syar’u Man Qablana tercantum dalam Kitab Suci Al – Qur’an.  Lantas pertanyaanya , Syari’at – syari’at yang lampau manakah yang boleh kita ambil untuk  mengatasi situasi zaman sekarang ini ? Perlu ditegaskan bahwa syar’u man Qablana yang tidak tercantum dalam Al – qur’an dan As – Sunah, itu tidak berlaku lagi Bagi Nabi S.A.W dan umatnya. Sebab, Risalah yang dibawa Nabi Muhammad S.A.W bersifat menggantikan Syari’at terdahulu, secara otomatis tidak berlaku lagi bagi umat sekarang. Misalnya, diharamkanya memakan semua daging binatang yang berjumlah genap, aksi bunuh diri sebagai cara taubat serta memotong bagian kain yang terkena najis.

Selanjutnya, Segolongan Ulama; sepakat bahwa Syar’u man Qablana yang tercantum dalam Al – qur’an maupun Sunah dan secara tegas  dinyatakan berlaku oleh Rosulullah S.A.W, maka keberlakuannya bukan hanya  sekedar kedudukannya sebagai Syar’u Man Qablana, melainkan karena disyari’atkan oleh Al – qur’an atau sunah Nabi Muhammad S.A.W. Seperti Disyari’atkanya Puasa kepada umat – umat terdahulu juga berlaku bagi umat Nabi. Hal ini  tercantum dalam Al – Qur’an surat Al Baqoroh ayat 183.

Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ ialah, hukun dari masalah – masalah yag tidak secara tegas diberlakukan pada syari’at Nabi Muhammad S.A.W, tetapi tidak ada nash yang menasakhkanya atau mengapusnya. Dalam hal ini ada dua kelompok yang saling bertolak belakang atas diberlakukanya Syar’u Man Qablana dengan menggunakan ijtihad mereka masing – masing.

3.      Kehujjahan Syar’u Man Qablana

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah syari’at sebelum kita itu dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat – pendapat mereka biasa dikelompokkan sebagi berikut :

Sebagaian Sahabat Abu hanifah, Sebagian Ulama’ Malikiyah, Sebagian sahabat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum – hukum yang disebutkan dalam Al qur’an atau sunah nabi meskipun objeknya tidak untuk Umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah : “ Syari’at untuk umat sebelum kita juga berlaku untuk syari’at kita.” Mereka juga mendasarkan pada Nash Alqur’an dalam SuratAs-Syura (13).

Jumhur Ulama’ haanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta Ulama’ kalam As’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat Bahwa ajaran – ajaran terdahulu tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW selama tidak dijelaskan pemeberlakuannya untuk umat Nabi Mjhammmad SAW. Alasanya adalah bahwa syari’at terdahulu itu secara khusus berlaku bagi umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum.

C.    SADD AL-DZARÎ’AH
1.      Pengertian Sadd Az-Zari’ah

Kata sadd  menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata az-zari’ah berarti “wahsilah” atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan. Imam al-satibi mendefenisikan dzari’ah dengan “melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung suatu kemaslahatan untuk menuju kesuatu kemasadatan. Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan tetapi tujuan yang akan dia capai berahir pada suatu kemafsadatan.

Menurut istilah ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan Sadd Az-Zari’ah berarti:
انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد
Artinya: menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.

2.      Kehujjahan  Sadd  Az-Zari’ah
Meskipun hampir semua dan penulis ushul fiqih menyinggung tentang sadd az-zari’ah namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri, ada yang menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat alquran mengisaratkan kearah itu. 

Umpamanya:
a)      Qs. Al-an’am 6: 108
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.

b)      QS. Al-Baqarah:104
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)

Orang-orang Yahudi menggunakan lafal رَاعِنَا  untuk mencela atau mengumpat Rasulullah Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela RasulullahSaw.. Larangan menggunakan sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah

c)      Qs. Annur 24: 31
“Dan janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Sebenarnya menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.

Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.

3.       Macam-macam  Tingkatan  Sadd  Az-Zari’ah
Ada 2 macam pembagian dzariah,yaitu:
a.       Dzariah dilihat dari segi kualitas kemashalatannya.
Imam asy-syatibi menyatakan bahwa dilihat dari segi kualitasnya dibagi kepada 4 macam:
1)      Perbuatan yang dilakukan itu membawa itu membawa kepada kemaslahatan secara pasti.
2)      Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kemaslahatan.
3)      Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kemaslahatan.
4)      Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi kemungkinan juga perbuatan itu membawa kemaslahatan.

b.      Dzariah dilihat dari segi  kemaslahatan yang ditimbulkannya.
Menurut Ibnu Qayyimaljauziyah, dzariah dari segi ini terbagi kepada:
1)      Perbuatan itu membawa kepada ke suatu kemasadatan seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan mabuk  itu kesuatu kemaslahatan.
2)      Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di bolehkan atau dianjurkan tetapi jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.

4.      Aplikasi Sadd Az-Zari’ah di Zaman Kotemporer.

Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus  Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.

Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1.            Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama’.
Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2.            Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram. Contoh: menjual senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.
3.            Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan keharamannya. Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4.            Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini hukumnya diperbolehkan. Contoh: melihat lain jenis disaat melamar. 

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum, beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man Qoblana, dan Sad al-Zari’ah.

Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.

B.     SARAN

 Dalam penulisan makalah ini  penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan kepada mahasiswa selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.

DAFTAR PUSTAKA

http://nurrahmatcom.blogspot.com/2011/03/mazhab-shahabi.html
http://divafz.wordpress.com/2013/09/16/syaru-man-qablana/
http://comandan21.blogspot.com/2013/10/mazhab-shahabi_7.html
http://rumah-dakwah-indonesia.blogspot.com/2013/11/makalah-al-dzariah-pengertian-kedudukan.html
http://tammimsyafii.blogspot.com/2013/11/ushul-fiqh-syaru-man-qoblana.html
http://tammimsyafii.blogspot.com/2013/11/ushul-fiqh-syaru-man-qoblana.html

http://yonputra.wordpress.com/2013/12/20/makalah-madzhab-shahabi/
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

5 komentar:

Sri wahyuni mengatakan...

artikel yang menarik.....jangan lupa ya singgah di blog sya ya..duniapendidikan33.blogspotcom

15 Maret 2015 pukul 18.09
Unknown mengatakan...

terimakasih atas kunjungannya.
siap singgah mbak

16 Maret 2015 pukul 00.09
Unknown mengatakan...

thanks... your article very help me,,
let's come in my blog ,,,hehe

1 Desember 2015 pukul 03.50
babulilmi mengatakan...

ini sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas kuliah. pas banget dengan mata kuliah saya...matur nuhun. semoga bermanfaat

1 Maret 2016 pukul 18.19
Ayu mengatakan...

Alhamdulillah sangat membantu syaa..

5 Maret 2019 pukul 17.45

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Labels

  • Artikel Makalah (9)
  • Filsafat Pendidikan Islam (1)
  • hadist tarbawy (1)
  • Komputer (1)
  • Makalah (13)
  • manajemen pendidikan (1)
  • Pengembangan & Inovasi Kurikulum (1)
  • Perbandingan Mazhab (1)
  • Perencanaan Pembelajaran PAI (1)
  • Picture (1)
  • PPMDI (1)
  • Psikologi Pembelajaran & Perkembangan (1)
  • Puisi (7)
  • tafsir tarbawy (2)
  • Teknologi Pendidikan (1)
  • Tips & Trik (1)
  • Ushul Fiqh (1)
  • Video (2)

Blog Archive

  • ►  2018 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ▼  2015 (21)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (3)
    • ▼  Februari (14)
      • mengingatmu bidadari
      • Tips Menghindari Kejahatan Begal Motor
      • PENTINGNYA TEKNOLOGI PENDIDIKAN
      • MADZHAB SHAHABI, SYAR’U MAN QABLANA, & SADD AL-ZAR...
      • MOTIVASI DALAM BELAJAR
      • PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013
      • KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
      • PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN TENTANG SISTEM PENDIDIK...
      • Domain Teknologi Pendidikan
      • PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU SMPIT ASY-SY...
      • STRATEGI, METODE DAN TEHNIK PEMBELAJARAN PAI
      • PENGGGUNAAN MEDIA SIMBOL BELAJAR
      • STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING, PROBLEM BA...
      • TES SEBAGAI ALAT EVALUASI
  • ►  2014 (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2013 (9)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (2)
    • ►  Desember (2)

Followers

Pages

  • Beranda
  • Tugas-tugasku
  • News
  • Laguku
Wawan Firmana. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

  • Kandungan QS. Ar Rahman Ayat 33 tentang Pendidikan (Teknologi)
    BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Memperhatikan ralita keterpurukan  kaum muslimin dewasa ini, kami mencoba mengupas ayat ilmu pe...
  • Domain Teknologi Pendidikan
    1. Pengertian Domain atau kawasan teknologi pendidikan Secara etimologis, domain berarti kawasan, wilayah/daerah kekuasaan atau bidang k...
  • MADZHAB SHAHABI, SYAR’U MAN QABLANA, & SADD AL-ZARI’AH
    BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang b...
  • Analisis Kritis Masalah Tawuran Pelajar di Tinjau Dari Filsafat
    oleh : Wawan Firmana BAB I PENDAHULUAN A.    LATAR BELAKANG Tawuran pelajar. Kata-kata ini sudah ada sejak dulu kala hingga ki...
  • “AYAT-AYAT TENTANG METODE PENDIDIKAN YANG TEPAT”
    BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam dapat dilihat dari Al Qur’an yang meru...
  • Fiqh Wudhu dan Sholat
    A.    Latar Belakang Shalat adalah amalan yang pertama akan dihisab pada hari kiamat. Apabila baik shalatnya, maka dianggaplah baik ke...
  • PENGEMBANGAN ALAT EVALUASI
    BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kalau kita perhatikan kenyataan dalam dunia pendidikan akan kita ketahui, bahwa dalam setiap jeni...
  • Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Mamluk
    Oleh: Wawan Firmana BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Dalam sejarah peradaban Islam setelah masa pemerintahan khulafour-rasi...
  • MANUSIA DAN KEBUTUHAN DOKTRIN AGAMA*
    BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segal...
  • STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING, PROBLEM BASED LEARNING & BERORIENTASI AKTIVITAS SISWA
    BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa: “Pendidik...

leader of achievement

Unknown
Lihat profil lengkapku

Labels

  • Artikel Makalah (9)
  • Filsafat Pendidikan Islam (1)
  • hadist tarbawy (1)
  • Komputer (1)
  • Makalah (13)
  • manajemen pendidikan (1)
  • Pengembangan & Inovasi Kurikulum (1)
  • Perbandingan Mazhab (1)
  • Perencanaan Pembelajaran PAI (1)
  • Picture (1)
  • PPMDI (1)
  • Psikologi Pembelajaran & Perkembangan (1)
  • Puisi (7)
  • tafsir tarbawy (2)
  • Teknologi Pendidikan (1)
  • Tips & Trik (1)
  • Ushul Fiqh (1)
  • Video (2)

About

SEBUAH BLOG UNTUK BERKARYA DAN BERKREASI SERTA BERBAGI. PENYUSUN, PENYUNTING, PENULIS ADALAH SEORANG MAHASISWA SEMESTER VI FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM STAI BINAMADANI.

Arsip Blog

  • ►  2018 (1)
    • ►  November (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ▼  2015 (21)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (3)
    • ▼  Februari (14)
      • mengingatmu bidadari
      • Tips Menghindari Kejahatan Begal Motor
      • PENTINGNYA TEKNOLOGI PENDIDIKAN
      • MADZHAB SHAHABI, SYAR’U MAN QABLANA, & SADD AL-ZAR...
      • MOTIVASI DALAM BELAJAR
      • PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013
      • KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
      • PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN TENTANG SISTEM PENDIDIK...
      • Domain Teknologi Pendidikan
      • PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU SMPIT ASY-SY...
      • STRATEGI, METODE DAN TEHNIK PEMBELAJARAN PAI
      • PENGGGUNAAN MEDIA SIMBOL BELAJAR
      • STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING, PROBLEM BA...
      • TES SEBAGAI ALAT EVALUASI
  • ►  2014 (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2013 (9)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (2)
    • ►  Desember (2)

Yahoo.com

www.yahoo.com

Blogroll

STAI BINAMADANI

KAMPUS PEDULI UMAT

PATANG MENYERAH

TERUS BERUSAHA
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com